Wednesday, August 09, 2017

Pengalaman Menjadi Guru





“Hello! My name is Sari. You can call me Miss Sari!”

Begitulah caraku memperkenalkan diri kepada anak-anak didikku di depan kelas. Mau mereka masih SD, atau sudah SMP atau malah sudah SMK yang nyaris tamat. Mereka menanggapiku dengan antusias di menit-menit pertama. Namun, setelah jam pelajaran berlalu 20 menit, mereka mulai bosan dan mengacuhkan aku.

“Oh, god! Saya dicuekin!”

Bila bercerita pengalaman menjadi guru, rasanya mungkin tidak ada habis-habisnya. Mulai dari pengalaman mengajar siswa ecek-ecek di kelas Microteaching saat masih di kampus, hingga akhirnya dilepas ke sebuah Madrasah Aliyah Negeri tempat Program Pengalaman Lapangan. Banyak hal yang kupelajari di sekolah tempatku PPL, dari hal yang menyenangkan sampai hal yang membuatku berhenti untuk menjadi guru.

Saat PPL, aku mendapatkan tugas untuk mengajar hampir semua kelas yang dipegang oleh guru pamong atau guru asuhku. Enam belas jam seminggu! Dari kelas jurusan IPA yang anak-anaknya serius-sunyi-senyap sampai kelas jurusan IPS yang amburadul-nggak-tau-bilang-gimana. Aku bersyukur kelas yang ditugaskan denganku masih satu level, sehingga aku tidak perlu repot-repot memikirkan dua bahan materi ajar per minggu. Satu bahan materi ajar per minggu saja sudah repot, waktu itu. Hahaha.

Selain menggunakan papan tulis, aku suka menggunakan karton warna-warni yang berisi materi ajar kubuat sendiri di rumah. Karena tidak setiap kelas difasilitasi infokus, jadi aku menggunakan karton sebagai gantinya. Soal biaya, memang lebih. Tetapi, aku merasa lebih terbantu. Papan tulis lebih sering kugunakan untuk contoh soal secara langsung atau untuk menggambar bentuk poster atau karikatur orang yang sedang berdialog. Aku juga sering membuatkan tes kepada mereka, juga membuat daftar nilai secara terang-terangan. Ada juga siswa ini kumotivasi untuk belajar lebih, tidak hanya dalam pelajaranku, tetapi juga pelajaran lain. “Temukan minat dan bakat kalian sekarang, sebelum terlambat,” pesanku.

Sekarang sudah tiga tahun berlalu setelah PPL. Aku melihat memperhatikan beberapa anak didikku dulu sudah kuliah, bahkan sudah ada yang hampir selesai skripsinya. Aku senang melihat mereka yang berhasil hingga saat ini. Namun, sesaat sebelum Program Pengalaman Lapangan itu berakhir, aku merasakan bahwa menjadi guru adalah tugas yang berat. Melelahkan sekali. Aku harus pontang-panting memikirkan nilai siswa yang rendah dibawah Kriteria Ketuntasan Minimum agar ia bisa setidaknya mendapatkan nilai serata dengan KKM. Terlebih, saat PPL, aku tidak menerima bayaran sepeserpun. Selain itu, menertibkan anak-anak yang bandel menjadi tantangan terberat buatku, di dalam kelas maupun di lapangan. Banyak anak-anak yang menganggapku dan rekan mahasiswa “hanya mahasiswa PPL” yang bisa mereka lakukan semena-mena. Aku menanggapinya dengan maklum, mereka masih kecil dan belum tahu dunia. Akan tetapi, jika kuteruskan, sepertinya aku tidak mau lagi. Sejak itu, aku tidak ingin menjadi guru lagi, walaupun setelah wisuda nanti gelarku Sarjana Pendidikan.

Sayangnya, tekad itu tidak berlangsung lama. Selepas wisuda, aku mencari pekerjaan lain, tetapi tidak ada yang awet. Berselang 4 tahun kemudian, aku mulai merasa bahwa tidak ada pilihan pekerjaan lain untukku yang sesuai dengan skill diluar mengajar. Akhirnya aku memantapkan diri untuk melamar ke sekolah-sekolah yang ada di kota Meulaboh, dan akhirnya aku diterima di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. SMK adalah sekolah yang diluar ekspektasiku sebagai tempat bekerja, mungkin karena stereotip yang seringnya didengar di telinga kita, siswanya kebanyakan cowok dan bandel. Again, menertibkan anak merupakan tantangan terbesarku. Akan tetapi, aku bisa melaluinya perlahan.

Setelah menjadi guru di SMK itu selama kurang dari satu semester, aku pun mencoba mencari peruntungan di sekolah lain. Bukannya mencari tempat lain selain sekolah, justru aku malah mencari sekolah yang lain. Seorang senior menawarkanku ke sebuah pesantren setingkat SMP. Aku tak menyia-nyiakannya. Akupun melamar ke pesantren itu, dengan maksud menjadi guru Bahasa Inggris. Akan tetapi, aku justru dipanggil sebagai guru Bahasa Jepang. Awalnya aku ragu, akan tetapi, ini sebuah kesempatan bagiku untuk mengambil pelajaran baru dari pengalaman. Bagaimana jadinya jika aku mengajar bidang bahasa yang berbeda?

Pelajaran Bahasa Jepang sebagai Muatan Lokal di kurikulum pesantren itu membuatku banyak belajar. Aku merasa seperti siswa. Malam aku harus belajar dan mempersiapkan diri. Tidak hanya materi ajar per tema saja yang kupersiapkan, tetapi juga bagaimana nantinya caraku menjelaskan didepan kelas.

Selain itu, aku juga mengajar di sebuah les rumahan milik seorang rekan guru. Anak didiknya adalah anak-anak Madrasah Ibtidaiyah. Aku yang terbiasa mengajar level tinggi di MAN, SMK dan SMP, tantangan ini membuatku belajar lebih bagaimana agar aku bisa menangani mereka semua dengan baik.


Inilah yang sedang kujalani. Pengalaman hebat, yang membuatku bertemu dengan anak-anak yang cerdas dan anak-anak yang bandel. Mereka semua memberikanku ilmu, membuatku introspeksi dan terus bersemangat untuk memperbaiki diri dan terus belajar. Terima kasih buat semuanya, kalian luar biasa.

0 comments: