“Hello! My
name is Sari. You can call me Miss Sari!”
Begitulah
caraku memperkenalkan diri kepada anak-anak didikku di depan kelas. Mau mereka
masih SD, atau sudah SMP atau malah sudah SMK yang nyaris tamat. Mereka
menanggapiku dengan antusias di menit-menit pertama. Namun, setelah jam
pelajaran berlalu 20 menit, mereka mulai bosan dan mengacuhkan aku.
“Oh, god!
Saya dicuekin!”
Bila
bercerita pengalaman menjadi guru, rasanya mungkin tidak ada habis-habisnya. Mulai
dari pengalaman mengajar siswa ecek-ecek di kelas Microteaching saat masih di
kampus, hingga akhirnya dilepas ke sebuah Madrasah Aliyah Negeri tempat Program
Pengalaman Lapangan. Banyak hal yang kupelajari di sekolah tempatku PPL, dari
hal yang menyenangkan sampai hal yang membuatku berhenti untuk menjadi guru.
Saat PPL,
aku mendapatkan tugas untuk mengajar hampir semua kelas yang dipegang oleh guru
pamong atau guru asuhku. Enam belas jam seminggu! Dari kelas jurusan IPA yang
anak-anaknya serius-sunyi-senyap sampai kelas jurusan IPS yang amburadul-nggak-tau-bilang-gimana.
Aku bersyukur kelas yang ditugaskan denganku masih satu level, sehingga aku
tidak perlu repot-repot memikirkan dua bahan materi ajar per minggu. Satu bahan
materi ajar per minggu saja sudah repot, waktu itu. Hahaha.
Selain
menggunakan papan tulis, aku suka menggunakan karton warna-warni yang berisi
materi ajar kubuat sendiri di rumah. Karena tidak setiap kelas difasilitasi
infokus, jadi aku menggunakan karton sebagai gantinya. Soal biaya, memang
lebih. Tetapi, aku merasa lebih terbantu. Papan tulis lebih sering kugunakan untuk
contoh soal secara langsung atau untuk menggambar bentuk poster atau karikatur
orang yang sedang berdialog. Aku juga sering membuatkan tes kepada mereka, juga
membuat daftar nilai secara terang-terangan. Ada juga siswa ini kumotivasi
untuk belajar lebih, tidak hanya dalam pelajaranku, tetapi juga pelajaran lain.
“Temukan minat dan bakat kalian sekarang, sebelum terlambat,” pesanku.
Sekarang
sudah tiga tahun berlalu setelah PPL. Aku melihat memperhatikan beberapa anak
didikku dulu sudah kuliah, bahkan sudah ada yang hampir selesai skripsinya. Aku
senang melihat mereka yang berhasil hingga saat ini. Namun, sesaat sebelum
Program Pengalaman Lapangan itu berakhir, aku merasakan bahwa menjadi guru
adalah tugas yang berat. Melelahkan sekali. Aku harus pontang-panting
memikirkan nilai siswa yang rendah dibawah Kriteria Ketuntasan Minimum agar ia
bisa setidaknya mendapatkan nilai serata dengan KKM. Terlebih, saat PPL, aku
tidak menerima bayaran sepeserpun. Selain itu, menertibkan anak-anak yang
bandel menjadi tantangan terberat buatku, di dalam kelas maupun di lapangan.
Banyak anak-anak yang menganggapku dan rekan mahasiswa “hanya mahasiswa PPL”
yang bisa mereka lakukan semena-mena. Aku menanggapinya dengan maklum, mereka
masih kecil dan belum tahu dunia. Akan tetapi, jika kuteruskan, sepertinya aku
tidak mau lagi. Sejak itu, aku tidak ingin menjadi guru lagi, walaupun setelah
wisuda nanti gelarku Sarjana Pendidikan.
Sayangnya,
tekad itu tidak berlangsung lama. Selepas wisuda, aku mencari pekerjaan lain,
tetapi tidak ada yang awet. Berselang 4 tahun kemudian, aku mulai merasa bahwa
tidak ada pilihan pekerjaan lain untukku yang sesuai dengan skill diluar
mengajar. Akhirnya aku memantapkan diri untuk melamar ke sekolah-sekolah yang
ada di kota Meulaboh, dan akhirnya aku diterima di sebuah Sekolah Menengah
Kejuruan. SMK adalah sekolah yang diluar ekspektasiku sebagai tempat bekerja,
mungkin karena stereotip yang seringnya didengar di telinga kita, siswanya
kebanyakan cowok dan bandel. Again, menertibkan anak merupakan tantangan
terbesarku. Akan tetapi, aku bisa melaluinya perlahan.
Setelah
menjadi guru di SMK itu selama kurang dari satu semester, aku pun mencoba mencari
peruntungan di sekolah lain. Bukannya mencari tempat lain selain sekolah,
justru aku malah mencari sekolah yang lain. Seorang senior menawarkanku ke
sebuah pesantren setingkat SMP. Aku tak menyia-nyiakannya. Akupun melamar ke
pesantren itu, dengan maksud menjadi guru Bahasa Inggris. Akan tetapi, aku
justru dipanggil sebagai guru Bahasa Jepang. Awalnya aku ragu, akan tetapi, ini
sebuah kesempatan bagiku untuk mengambil pelajaran baru dari pengalaman.
Bagaimana jadinya jika aku mengajar bidang bahasa yang berbeda?
Pelajaran
Bahasa Jepang sebagai Muatan Lokal di kurikulum pesantren itu membuatku banyak
belajar. Aku merasa seperti siswa. Malam aku harus belajar dan mempersiapkan
diri. Tidak hanya materi ajar per tema saja yang kupersiapkan, tetapi juga
bagaimana nantinya caraku menjelaskan didepan kelas.
Selain itu,
aku juga mengajar di sebuah les rumahan milik seorang rekan guru. Anak didiknya
adalah anak-anak Madrasah Ibtidaiyah. Aku yang terbiasa mengajar level tinggi
di MAN, SMK dan SMP, tantangan ini membuatku belajar lebih bagaimana agar aku
bisa menangani mereka semua dengan baik.
Inilah yang
sedang kujalani. Pengalaman hebat, yang membuatku bertemu dengan anak-anak yang
cerdas dan anak-anak yang bandel. Mereka semua memberikanku ilmu, membuatku
introspeksi dan terus bersemangat untuk memperbaiki diri dan terus belajar.
Terima kasih buat semuanya, kalian luar biasa.
0 comments:
Post a Comment